Kamis, 19 Januari 2017

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TAHU DAN TEMPE DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROB DAN AEROB



BAB I
PENDAHULUAN


1.1              1.1      Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia merupakan Negara Agraris yang subur beriklim tropis. Sehingga penduduk Indonesia dapat memanfaatkannya dengan menanam berbagai macam tanaman. Salah satunya adalah kacang kedelai. Kacang kedelai tersebut banyak mengandung gizi yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan jasmani. Selain dapat dikonsumsi kedelai dapat diolah menjadi berbagai macam makanan seperti tahu.Karena pada kenyataannya proses pembuatan tahu tidaklah terlalu rumit, oleh karena itu banyak masyarakat yang menjadikan pembuatan tahu sebagai penghasilan keluarga.
Kegiatan industri tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala kecil dengan modal yang terbatas. Dari segi lokasi, usaha ini juga sangat tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya bertaraf pendidikan yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan pengolahan limbah. Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan, limbah ini kebanyakan oleh pengrajin dijual dan diolah menjadi tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung ampas tahu yang akan dijadikan bahan dasar pembuatan roti kering dan cake. Sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu, oleh karena itu limbah cair yang dihasilkan sangat tinggi. Limbah cair tahu dengan karakteristik mengandung bahan organik tinggi dan kadar BOD, COD yang cukup tinggi pula, jika langsung dibuang ke badan air, jelas sekali akan menurunkan daya dukung lingkungan. Sehingga industri tahu memerlukan suatu pengolahan limbah yang bertujuan untuk mengurangi resiko beban pencemaran yang ada.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diterapkan sistem pengolahan limbah dengan sistem kombinasi anaerob-aerob, dengan sistem ini diharapkan dapat menurunkan konsentrasi kadar COD air limbah tahu. Sehingga jika dibuang tidak menyebabkan bau dan tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Mengingat industri tahu merupakan industri dengan skala kecil, maka membutuhkan intalasi pengolahan limbah yang alat-alatnya sederhana, biaya operasionalnya murah, memiliki nilai ekonomis dan ramah lingkungan.

1.2              1.2     Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan masalah-masalah yang akan dibahas pada Laporan Penelitian terhadap teknologi pengolahan limbah tahu dan tempe dengan proses biofilter anaerob dan aerob. Perumusan masalah terhadap Teknologi biofilter anaerob dan aerob menekankan terhadap proses yang mengurangi pencemaran yang dihasilkan dari produksi tahu dan tempe terhadap lingkungan sekitar.

1.3              1.3      Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan batasan-batasan yang dimaksudkan untuk membatasi topik permasalahan agar tidak menyimpang dari pokok bahasan. Berikut ini adalah pembatasan masalah yang ada ialah tidak menjauh dari persoalan terhadap menanggulangi permasalahan yang disebabkan dari produksi tahu dan tempe terhadap lingkungan sekitar dengan menggunakan teknologi biofilter anaerob dan aerob.

1.4              1.4      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan merupakan hal-hal yang menjadi tujuan dalam penulisan Laporan Penelitian terhadap teknologi pengolahan limbah tahu dan tempe dengan proses biofilter anaerob dan aerob. Tujuan dari Laporan ini diantaranya sebagai berikut.
1.      Mengetahui Proses pembuatan tahu dan tempe
2.      Mengetahui limbah industri tahu dan tempe
3.      Untuk mengetahui teknologi pengolahan limbah industri tahu dan tempe




BAB II
LANDASAN TEORI


2.1       Sejarah Tahu dan Tempe
      Tahu dan tempe dibuat dari kacang kedelai yang fermentasikan dan diambil sarinya. Berbeda dengan tempe yang asli Indonesia, tahu berasal dari China, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso.Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian, tauhu (hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti “kedelai yang difermentasi”. Di Jepang dikenal dengan nama tofu. Dibawa para perantau China, makanan ini menyebar ke Asia Timur dan Asia Tenggara, lalu juga menyebar ke seluruh dunia.
Tahu dan tempe pertama kali mucul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han  sekitar 2200 tahun yang lalu. Penemunya adalah Liu An yang merupakan seorang bangsawan, cucu Kaisar Han Gaozu Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han.Liu An adalah ilmuan, filosof, penguasa, dan ahli politik. Ia tertarik pada ilmu kimia dan Meditasi Tadiom. Para ahli sejarah berpendapat bahwa kemungkinan besar Liu An melakukan pengenalan makanan non daging melalui tahu. Dan kemungkinan besar Liu An mendapatkan tahu dengan nigari atau air lant dan menjadi kental seperti tahu saat ini.

2.2       Proses pembuatan Tahu dan Tempe
Tahu dan Tempe merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh industri skala kecil yang kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. Industri tersebut berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, di sisi lain industri ini menghasilakan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tahu membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu untuk prosees sortasi, peredaman, pengupasan kulit, pencucian, penggilingan, perebusan dan penyaringan.
1.      Proses Pembuatan Tahu
Pembuatan tahu pada prinsipnya dibuat dengan mengekstrak protein, kemudian mengumpulkannya, sehingga terbentuk padatan protein. Cara penggumpalan susu kedelai umumnya dilakukan dengan cara penambahan bahan penggumpal berupa asam. Bahan penggumpal yang biasa digunakan adalah asam cuka (CH3COOH), batu tahu (CaSO4nH 2O) dan larutan bibit tahu (larutan perasan tahu yang telah diendapkan satu malam).
Secara umum tahapan proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut :
a.     Kedelai yang telah dipilih dibersihkan dan disortasi. Pembersihan dilakukan dengan ditampi atau menggunakan alat pembersih.
b.     Perendaman dalam air bersih agar kedelai dapat mengembang dan cukup lunak untuk digiling. Lama perendaman berkisar 4 - 10 jam.
c.    Pencucian dengan air bersih. Jumlah air yang digunakan tergantung pada besarnya atau jumlah kedelai yang digunakan.
d.  Penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai dengan mesin giling. Untuk memperlancar penggilingan perlu ditambahkan air dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah kedelai.
e.  Pemasakan kedelai dilakukan di atas tungku dan dididihkan selama 5 menit. Selama pemasakan ini dijaga agar tidak berbuih, dengan cara menambahkan air dan diaduk.
f.    Penyaringan bubur kedelai dilakukan dengan kain penyaring. Ampas yang diperoleh diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah kurang lebih 70% sampai 90% dari bobot kering kedelai.
g.  Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan air asam, pada suhu 50oC, kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan besar. Selanjutnya air di atas endapan dibuang dan sebagian digunakan untuk proses penggumpalan kembali.
h.  Langkah terakhir adalah pengepresan dan pencetakan yang dilapisi dengan kain penyaring sampai padat. Setelah air tinggal sedikit, maka cetakan dibuka dan diangin-anginkan
2.      Proses Pembuatan Tempe
Tempe merupakan hasil fermentasi kedelai, dan secara garis besar urutan proses pembuatan tempe adalan sebagai berikut :
a.       Kedelai dimasak, setelah masak kedelai direndam 1 malam hingga lunak dan terasa berlendir, kemudian kedelai dicuci hingga bersih.
b.       Kedelai dipecah dengan mesin pemecah, hingga kedelai terbelah dua dan kulit kedelai terpisah.
c.        Kulit kedelai dipisahkan dengan cara hasil pemecahan kedelai dimasukkan ke dalam air, sehingga kulit kedelai mengambang dan dapat dipisahkan.
d.       Kedelai kupas dicuci kembali hingga bersih, kemudian peragian dengan cara kedelai dicampurkan ragi yang telah dilarutkan dan didiamkan selama lebih kurang 10 menit.
e.        Kedelai yang telah mengandung ragi ditiriskan hingga hampir kering, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Setelah fermentasi selama 2 hari diperoleh tempe.

2.2              Limbah Industri Tahu dan Tempe
Untuk limbah industri tahu tempe ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas. Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 400C sampai 46 0C. Suhu yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan.
Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, protein dan lemaklah yang jumlahnya paling besar (Nurhasan dan Pramudyanto, 1987), yang mencapai 40% - 60% protein, 25 - 50% karbohidrat, dan 10% lemak (Sugiharto, 1987). Semakin lama jumlah dan jenis bahan organik ini semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme di dalam air limbah tahu tersebut. Untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD dan TOM. Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah tangga (Greyson, 1990; Welch, 1992).
Air buangan industri tahu kualitasnya bergantung dari proses yang digunakan. Apabila air prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air buangannya biasanya rendah (Nurhasan dan Pramudya, 1987). Pada umumnya konsentrasi ion hidrogen buangan industri tahu ini cenderung bersifat asam. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06 sampai 434,78 mg/l. sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di peraian tersebut. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah adalah gas nitrogen (N2 ), oksigen (O2 ), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3 ), karbondioksida (CO2 ) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan. Beberapa contoh hasil pengukuran kadar BOD Dan COD di dalam air limbah tahu dan tempe

2.3       Teknologi Pengolahan Limbah Tahu dan Tempe
Teknologi pengolahan limbah tahu dan tempe dapat dilakukan dengan proses biologis sistem anaerob, aerob dan kombinasi anaerob-aerob. Teknologi pengolahan limbah tahu yang ada saat ini pada umumnya berupa pengolahan limbah dengan sistem anaerob, hal ini disebabkan karena biaya operasionalnya lebih murah. Dengan proses biologis anaerob, efisiensi pengolahan hanya sekitar 70%-80%, sehingga airnya masih mengandung kadar pencemar organik cukup tinggi, serta bau yang masih ditimbulkan sehingga hal ini menyebabkan masalah tersendiri (Herlambang, 2002).
Saat ini cara yang sedang dikembangkan adalah pemanfaatan biogas dari hasil pengolahan limbah cair tahu dengan sistem anaerob. Setiap bahan organik bila tertampung dalam bak penampungan akan mengalami perombakan secara alami (fermentasi). Proses ini dapat lebih cepat bila bak penampungan dibuat kedap udara atau berupa tabung hampa udara. Selain menghasilkan cairan yang tidak berbau lagi, biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar untuk kompor masak dan lampu penerangan. Ini sangat bernilai ekonomis terutama bagi masyarakat yang hidup di wilayah pedesaan.
Pengolahan limbah yang sudah ada tersebut, tentunya harus dikelola denganbaik dan dipelihara secara rutin. Ini juga memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait terutama pemerintah dan pemilik industri tahu. Hal ini penting agar proses pengolahan limbah tetap berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang optimal. Dari berbagai teknologi pengolahan limbah yang sudah ada, maka akan dilakukan kajian untuk mengetahui teknologi pengolahan limbah tahu yang efektif dan efisien beserta kelebihan dan kekurangannya dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.


BAB III
PEMBAHASAN


3.1       Studi Kasus
            Sungai Kaligelis di pusat kota Kudus, ditengarai tercemar limbah pabrik tahu. Pencemaran itu terjadi pada titik atau ruas di wilayah Desa Ploso, Kecamatan Jati. Karena di situlah banyak pabrik makanan berbahan baku kedelai.  Dari pemantauan di lokasi, akibat terjadinya pencemaran kondisi air sungai kini menjadi keruh. Warga di sekitar yang bermukim di sepanjang tepi Sungai Kaligelis, tidak ada yang menggunakannya untuk keperluan minum dan memasak. Sebagian warga memanfaatkan untuk mencuci pakaian.
Pencemaran yang terjadi di Sungai Kaligelis, karena terdapatnya pabrik tahu di Desa Ploso yang jumlahnya 19 unit. Sebagian besar dari pabrik tersebut belum mempunyai instalasi pengolah air limbah (IPAL), sehingga limbah dari hasil pengolahan produksi itu, dibuang langsung ke sungai.

3.2       Hasil dan Pembahasan
Limbah cair yang dikeluarkan oleh industri-industri masih menjadi masalah bagi lingkungan sekitarnya, karena pada umumnya industri-industri, terutama industri rumah tangga mengalirkan langsung air limbahnya ke selokan atau sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Demikian pula dengan industri tahu/tempe yang pada umumnya merupakan industri rumah tangga.
           Keadaan ini akibat masih banyaknya pengrajin tahu/tempe yang belum mengerti akan kebersihan lingkungan dan disamping itu pula tingkat ekonomi yang masih rendah, sehingga pengolahan limbah akan menjadi beban yang cukup berat bagi mereka. Namun demikian keberadaan industri tahu-tempe harus selalu didukung baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat karena makanan tahu-tempe merupakan makanan yang digemari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, disamping nilai gizinya tinggi harganya pun relatif murah.
Description: http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limtt06.gifDescription: http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limtt06.gif
           Limbah industri tahu-tempe dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat karena mengandung polutan organik yang cukup tinggi. Dari beberapa hasil penelitian, konsentrasi COD (Chemical Oxygen Demand) di dalam air limbah industri tahu-tempe cukup tinggi yakni berkisar antara 7.000 - 10.000 ppm, serta mempunyai keasaman yang rendah yakni pH 4-5. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, air limbah industri tahu-tempe merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potersial.
Gambar 3.1 Air Limbah Tahu Tempe
           Saat ini pengelolaan air limbah industri tahu-tempe umumnya dilakukan dengan cara membuat bak penampung air limbah sehingga terjadi proses anaerob. Dengan adanya proses biologis anaerob tersebut maka kandungan polutan organik yang ada di dalam air limbah dapat diturunkan. Tetapi dengan proses tersebut efisiesi pengolahan hanya berkisar antara 50 % - 70 % saja. Dengan demikian jika konsertarsi COD dalam air limbah 7000 ppm, maka kadar COD yang keluar masih cukup tinggi yakni sekitar 2100 ppm, sehinga hal ini masih menjadi sumber pencemaran lingkungan.
1.      Penguraian Anaerob
Air limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu-tempe kumpulkan melalui saluran air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air limbah dapat diturukkan sampai kira-kira 600 ppm (efisiensi pengolahan 90 %). Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter aerob.
Description: http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limtt08.gif
Gambar 3.2 proses pengolahan air limbah dengan sistem kombinasi biofilter "Anareb-Aerob
a.       Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang ada sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses penguraian limbah akan menambah biaya pengoperasian.
b.      Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20 kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang dihasilkan bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian besar energi didapat dari pemecahan substrat yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu CH4. Dibawah kondisi aerobik 50% dari karbon organik dirubah menjadi biomassa, sedangkan dalam proses anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang dirubah menjadi biomassa. Dengan proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa, sedangkan proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa (Speece, 1983; Switzenbaum, 1983).
c.       Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan. Gas metan mengandung sekitar 90% energi dengan nilai kalori 9.000 kkal/m3, dan dapat dibakar ditempat proses penguraian atau untuk menghasilkan listrik. Sedikit energi terbuang menjadi panas (3-5%). Pruduksi metan menurunkan BOD dalam Penguraian lumpur limbah.
d.      Energi untuk penguraian limbah kecil.
e.       Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi polutan organik yang tinggi.
f.       Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian limbah dalam jumlah besar.
g.      Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik (seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami recalcitrant seperti liGnin
2.      Proses Pengolahan Lanjut
Proses pengolahan lanjut ini dilakukan dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor. Air limbah yang berasal dari proses penguraian anaerob (pengolahan tahap perama) dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur.
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke dan bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap.
Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan kerikil, plastik (polyethylene), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya. Dengan adanya proses pengolahan lanjut tersebut konsentrasi COD dalam air olahan yang dihasilkan relatif rendah yakni sekitar 60 ppm.
Proses pengolahan lanjut dengan sistem Biofilter Anaerob-Aerob ini mempunyai beberapa keuntungan yakni :
a.       Adanya air buangan yang melalui media kerikil yang terdapat pada biofilter mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang menyelimuti kerikil atau yang disebut juga biological film. Air limbah yang masih mengandung zat organik yang belum teruraikan pada bak pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami proses penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas kontak antara air limbah dengan mikro-organisme yang menempel pada permukaan media filter tersebut. Makin luas bidang kontaknya maka efisiensi penurunan konsentrasi zat organiknya (BOD) makin besar. Selain menghilangkan atau mengurangi konsentrasi BOD dan COD, cara ini dapat juga mengurangi konsentrasi padatan tersuspensi atau suspended solids (SS) , deterjen (MBAS), ammonium dan posphor.
  1. Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang melalui media ini. Sebagai akibatnya, air limbah yang mengandung suspended solids dan bakteri E.coli setelah melalui filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efesiensi penyaringan akan sangat besar karena dengan adanya biofilter up flow yakni penyaringan dengan sistem aliran dari bawah ke atas akan mengurangi kecepatan partikel yang terdapat pada air buangan dan partikel yang tidak terbawa aliran ke atas akan mengendapkan di dasar bak filter. Sistem biofilter anaerob-aerb ini sangat sederhana, operasinya mudah dan tanpa memakai bahan kimia serta tanpa membutuhkan energi. Poses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan kapasitas yang tidak terlalu besar.
  2. Dengan kombinasi proses "Anaerob-Aerob", efisiensi penghilangan senyawa phospor menjadi lebih besar bila dibandingankan dengan proses anaerob atau proses aerob saja. Phenomena proses penghilangan phosphor oleh mikroorganisne pada proses pengolahan anaerob-aerab dapat diterangkan seperti pada gambar 5. Selama berada pada kondisi anaerob, senyawa phospor anorganik yang ada dalam sel-sel mikrooragnisme akan keluar sebagi akibat hidrolosa senyawa phospor. Sedangkan energi yang dihasilkan digunakan untuk menyerap BOD (senyawa organik) yang ada di dalam air limbah. Efisiensi penghilangan BOD akan berjalan baik apabila perbandingan antara BOD dan phospor (P) lebih besar 10. (Metcalf and Eddy, 1991). Selama berada pada kondisi aerob, senyawa phospor terlarut akan diserap oleh bakteria/ mikroorganisme dan akan sintesa menjadi polyphospat dengan menggunakan energi yang dihasik oleh proses oksidasi senywa organik (BOD). Dengan demikian dengan kombinasi proses anaerob-aerob dapat menghilangkan BOD maupun phospor dengan baik. Proses ini dapat digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban organik yang cukup besar.
3.      Keunggulan Proses Biofilter Anaerob-Aerob
Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan biofilter anaerb-aerob antara lain yakni : pengelolaannya sangat mudah, biaya operasinya rendah, dibandingkan dengan proses lumpur aktif, Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit, dapat menghilangkan nitrogen dan phospor yang dapat menyebabkan euthropikasi, suplai udara untuk aerasi relatif kecil, dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar, dan dapat menghilangan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.




BAB IV
PENUTUP


4.1       Kesimpulan
Kesimpulan adalah penarikan hasil dari analisa dan percobaan dalam bentuk ringkasan yang telah dilakukan selama ini untuk menunjukan jawaban dari tujuan penulisan. Berikut kesimpulan yang menjawab tujuan penulisan pada Laporan Penelitian terhadap teknologi pengolahan limbah tahu dan tempe dengan proses biofilter anaerob dan aerob, yaitu:
1.      Proses pembuatan tahu terdiri dari 8 tahap dan proses pembuatan tempe terdiri dari 5 tahap.
2.      Limbah yang dihasilkan dari produksi tahu dan tempe yaitu ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas.
3.      Teknologi yang digunakan untuk pengolahan industri tahu dan tempe yaitu dengan menggunakan teknologi anaerob dan aerob yang efektif dan efisien beserta kelebihan dan kekurangannya dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
           
4.2       Saran
            Pengolahan limbah yang sudah ada tersebut, tentunya harus dikelola denganbaik dan dipelihara secara rutin. Ini juga memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait terutama pemerintah dan pemilik industri tahu. Hal ini penting agar proses pengolahan limbah tetap berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Kaswinarti Fibria. 2007. Studi Kasus Industri Tahu Tandang Semarang, Sederhana Kendal dan Gagak Sipat Boyolali. Di akses pada tanggal 19 Januari 2017. (http://eprints.undip.ac.id/17407/1/Fibria_Kaswinarni.pdf )
Neni. 2012. Pencemaran dan Penanganan Limbah Industri Pangan (Industri Tahu). Di akses pada tanggal 19 Januari 2017.
(http://neniuswatun.blogspot.com/2012/04/pencemaran-dan-penanganan-limbah.html)
Rahman. 2010. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Tahu (http://rahmankumbohu.blogspot.com/2010/10/instalasi-pengolahan-air-limbah-ipal.html)
https://airsungaikelassatu2020.wordpress.com/industri-tahu-tempe/
http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Limbahtt/limbahtt.html
http://indryqhy.blogspot.co.id/2013/02/makalah-limbah-tahu.html